Materi yang berikutnya akan dibahas sebagai rangkaian pengenalan akan  fotometri adalah sistem magnitudo. Magnitudo adalah suatu sistem skala  ukuran kecerlangan bintang. Sistem magnitudo ini dibuat pertama kali  oleh Hipparchus pada abad 2 sebelum masehi. Dia membagi terang bintang  menjadi 6 kelompok berdasarkan penampakkannya dengan mata telanjang.  Bintang yang paling terang diberi magnitudo 1 sedangkan bintang yang  paling lemah yang bisa diamati oleh mata telanjang diberi magnitudo 6.  Hal yang perlu diperhatikan bahwa semakin terang suatu bintang, semakin  kecil magnitudonya. Kelemahan sistem ini adalah tidak adanya suatu  standar baku tentang terang bintang dan penentuan skala ini sangat  tergantung pada kejelian dan kualitas mata pengamat (karena bersifat  kualitatif) 
Ilmuwan John Herschel mendapatkan bahwa kepekaan mata dalam menilai  terang bintang bersifat logaritmik. Bintang yang bermagnitudo 1 ternyata  100 kali lebih terang dibandingkan bintang yang bermagnitudo 6.  Berdasarkan fakta ini, Pogson merumuskan skala magnitudo secara  kuantitatif. Hal ini menyebabkan sistem magnitudo semakin banyak  digunakan hingga saat ini.
Skala Pogson untuk magnitudo (semu):
m1 – m2 = -2,5log(E1/E2)
dengan :
m1 : magnitudo (semu) bintang 1
m2 : magnitudo (semu) bintang 2
E1 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 1
E2 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 2
m1 – m2 = -2,5log(E1/E2)
dengan :
m1 : magnitudo (semu) bintang 1
m2 : magnitudo (semu) bintang 2
E1 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 1
E2 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 2
Harga acuan (pembanding standar) skala magnitudo mula-mula digunakan  bintang Polaris. Bintang Polaris ditetapkan memiliki magnitudo 2 dan  bintang lainnya dibandingkan terhadap bintang Polaris. Bintang Polaris,  yang juga bintang kutub langit utara, dipilih karena bintang ini  terlihat dari seluruh observatorium yang ada di belahan bumi utara  (karena pada masa itu, belahan bumi utara lebih berkembang dan maju  secara teknologi). Namun, bintang ini ternyata memiliki kecerlangan yang  berubah-ubah (Polaris ternyata adalah sebuah bintang variabel Cepheid)  sehingga kecerlangan Polaris tidak bisa digunakan sebagai  patokan/standar baku. Oleh sebab itu, astronom menentukan bintang –  bintang lainnya untuk dijadikan standar.
Untuk mengukur kecerlangan suatu bintang digunakan alat yang  dinamakan fotometer. Prinsip kerjanya adalah dengan memanfaatkan gejala  fotolistrik. Efek fotolistrik inilah yang membuat Einstein memperoleh  hadiah Nobel (dan bukan karena hukum relativitas). Penerapan efek  fotolistrik ini antara lain diterapkan pada sel surya, chip CCD, dll.  Cahaya (atau gelombang elektromagnetik lainnya) ketika menyentuh  kelompok bahan tertentu akan menyebabkan elektron yang ada di permukaan  bahan akan terlepas. Jumlah elektron yang terlepas tergantung dari  intensitas radiasi gelombang elektromagnetik yang diterimanya. Jumlah  elektron yang dihasilkan ini dapat menghasikan arus listrik yang dapat  kita ukur. Dengan prinsip inilah, kita dapat mengukur intensitas cahaya  sebuah bintang.
Cara terbaik untuk mengukur magnitudo adalah dengan membandingkan  kecerlangan suatu bintang dengan bintang standar yang ada di dekatnya.  Hal ini disebabkan perbedaan keadaan atmosfer antara kedua bintang  (bintang standar dan bintang program/yang diamati) tidaklah besar.  Atmosfer Bumi dapat menyerap sebagian cahaya bintang dan besarnya  penyerapan tergantung dari ketinggian dan kondisi atmosfer yang dilewati  cahaya bintang sebelum sampai ke detektor pengamat. Pada saat ini,  sudah banyak bintang standar, baik di langit belahan utara maupun  selatan.
Magnitudo yang kita bahas di atas merupakan ukuran terang bintang  yang kita lihat atau terang semu (ada faktor jarak dan penyerapan yang  harus diperhitungkan). Magnitudo yang menyatakan ukuran fluks energi  bintang yang kita terima/ukuran terang bintang yang kita lihat/jumlah  foton yang kita terima disebut magnitudo semu (apparent magnitude).
Untuk menyatakan luminositas atau kuat sebenarnya sebuah bintang,  kita definisikan besaran magnitudo mutlak (intrinsic/absolute  magnitude), yaitu magnitudo bintang yang diandaikan diamati dari jarak  10 pc.
Skala Pogson untuk magnitudo mutlak (M) :
M1 – M2 = -2,5log(L1/L2)
dengan :
M1 : magnitudo mutlak bintang 1
M2 : magnitudo mutlak bintang 2
L1 : Luminositas bintang 1
L2 : Luminositas bintang 2
M1 – M2 = -2,5log(L1/L2)
dengan :
M1 : magnitudo mutlak bintang 1
M2 : magnitudo mutlak bintang 2
L1 : Luminositas bintang 1
L2 : Luminositas bintang 2
Hubungan antara magnitudo semu (m) dan magnitudo mutlak (M) disebut modulus jarak.
m – M = -5 + 5 log d
dengan d adalah jarak bintang (dalam pc) dan (m-M) disebut modulus jarak.
m – M = -5 + 5 log d
dengan d adalah jarak bintang (dalam pc) dan (m-M) disebut modulus jarak.
Persamaan modulus jarak umumnya digunakan dalam menentukan jarak  bintang-bintang yang jauh secara tidak langsung (metode indirect).  Seperti yang sudah pernah dibahas sebelumnya bahwa metode paralaks  trigonometri hanya bisa menentukan jarak secara akurat untuk beberapa  bintang dengan jarak kurang dari 500 pc. Untuk bintang yang lebih jauh  lagi, perlu digunakan metode-metode tak langsung (indirect). Salah  satunya adalah dengan mengukur magnitudo semu bintang lalu memperkirakan  magnitudo mutlaknya. Cara memperkirakan magnitudo mutlak ini banyak  metode/caranya. Dengan mengetahui magnitudo semu dan perkiraan magnitudo  mutlak, maka kita bisa memperkirakan jarak suatu bintang dengan modulus  jarak.
Hal yang perlu diperhatikan adalah persamaan modulus jarak di atas  valid/benar/akurat jika diasumsikan tidak ada materi antar bintang yang  terletak di antara arah pandang kita ke bintang. Materi antar bintang  tersebut dapat mengabsorpsi sebagian cahaya bintang. Jika keberadaan  serapan oleh materi antar bintang (MAB) tidak diabaikan, maka persamaan  modulus jaraknya :
m – M = -5 + 5 log d + AV
dengan AV : konstanta serapan materi antar bintang.
m – M = -5 + 5 log d + AV
dengan AV : konstanta serapan materi antar bintang.
Contoh:
Magnitudo mutlak sebuah bintang adalah M = 5 dan magnitudo semunya adalah m = 10. Jika absorpsi oleh materi antar bintang diabaikan, berapakah jarak bintang tersebut ?
Magnitudo mutlak sebuah bintang adalah M = 5 dan magnitudo semunya adalah m = 10. Jika absorpsi oleh materi antar bintang diabaikan, berapakah jarak bintang tersebut ?
Jawab :  m = 10 dan M = 5, dari rumus Pogson
m – M = -5 + 5 log d
diperoleh, 10 – 5 = -5 + 5 log d
5 log d = 10
log d = 2 –> d = 100 pc
m – M = -5 + 5 log d
diperoleh, 10 – 5 = -5 + 5 log d
5 log d = 10
log d = 2 –> d = 100 pc
Sebelum perkembangan fotografi, magnitudo bintang ditentukan dengan  mata. Kepekaan mata untuk daerah panjang gelombang yang berbeda tidak  sama. Mata terutama peka untuk cahaya kuning hijau di daerah λ = 5 500  Å, karena itu magnitudo yang diukur pada daerah ini disebut magnitudo  visual atau mvis.
Dengan berkembangnya fotografi, magnitudo bintang selanjutnya  ditentukan secara fotografi. Pada awal fotografi, emulsi fotografi  mempunyai kepekaan di daerah biru-ungu pada panjang gelombang sekitar  4.500 Å. Magnitudo yang diukur pada daerah ini disebut magnitudo  fotografi atau mfot .
Jadi, untuk suatu bintang, mvis berbeda dari mfot. Selisih kedua magnitudo tersebut, yaitu magnitudo fotografi dikurang magnitudo visual disebut indeks warna (Color Index – CI).
Semakin panas atau makin biru suatu bintang, semakin kecil indeks warnanya.
Semakin panas atau makin biru suatu bintang, semakin kecil indeks warnanya.
Dengan berkembangnya fotografi, selanjutnya dapat dibuat pelat foto  yang peka terhadap daerah panjang gelombang lainnya, seperti kuning,  merah bahkan inframerah.
Pada tahun 1951, H.L. Johnson dan W.W. Morgan mengajukan sistem magnitudo yang disebut sistem UBV, yaitu :
U = magnitudo semu dalam daerah ultraungu (λef = 3500 Å)
B = magnitudo semu dalam daerah biru ( λef = 4350 Å)
V = magnitudo semu dalam daerah visual ( λef = 5550 Å)
B = magnitudo semu dalam daerah biru ( λef = 4350 Å)
V = magnitudo semu dalam daerah visual ( λef = 5550 Å)
Dalam sistem UBV ini, indeks warna adalah U-B dan B-V. Semakin panas suatu bintang, semakin kecil nilai (B-V) nya.
Dewasa ini pengamatan fotometri tidak lagi menggunakan pelat film,  tetapi dilakukan dengan kamera CCD, sehingga untuk menentukan  bermacam-macam sistem magnitudo tergantung pada filter yang digunakan.
Contoh:
Tiga bintang diamati magnitudo dalam panjang gelombang visual (V) dan biru (B) seperti yang diperlihatkan dalam tabel di bawah.
Tiga bintang diamati magnitudo dalam panjang gelombang visual (V) dan biru (B) seperti yang diperlihatkan dalam tabel di bawah.
| No. | B | V | 
| 1 | 8,52 | 8,82 | 
| 2 | 7,45 | 7,25 | 
| 3 | 7,45 | 6,35 | 
- Tentukan bintang nomor berapakah yang paling terang ? Jelaskanlah alasannya
 - Bintang yang anda pilih sebagai bintang yang paling terang itu dalam kenyataannya apakah benar-benar merupakan bintang yang paling terang ? Jelaskanlah jawaban anda.
 - Tentukanlah bintang mana yang paling panas dan mana yang paling dingin. Jelaskanlah alasannya.
 
Jawab:
- Bintang paling terang adalah bintang yang magnitudo visualnya paling kecil. Dari tabel tampak bahwa bintang yang magnitudo visualnya paling kecil adalah bintang no. 3, jadi bintang yang paling terang adalah bintang no. 3
 - Belum tentu karena terang suatu bintang bergantung pada jaraknya ke pengamat seperti terlihat pada rumus yang sudah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu bintang yang sangat terang bisa tampak sangat lemah cahayanya karena jaraknya yang jauh.
 - Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kita tentukan dahulu indeks warna ketiga bintang tersebut, karena makin panas atau makin biru sebuah bintang maka semakin kecil indeks warnanya.
 
|   Nomor bintang  |    B  |    V  |    B – V  |  
|   1.  |    8,52  |    8,82  |    -0,30  |  
|   2.  |    7,45  |    7,25  |    0,20  |  
|   3.  |    7,45  |    6,35  |    1,10  |  
Dari tabel di atas tampak bahwa bintang yang mempunyai indeks warna  terkecil adalah bintang no. 1. Jadi bintang terpanas adalah bintang no.  1.
Magnitudo Bolometrik
Sistem magnitudo yang sudah kita bahas di atas hanya diukur pada panjang gelombang tertentu saja (mvis,mfot,mB,mU). Walaupun berbagai magnitudo tersebut dapat menggambarkan sebaran energi pada spektrum bintang sehingga dapat memberikan petunjuk mengenai temperaturnya, namun belum dapat memberikan informasi mengenai sebaran energi pada seluruh panjang gelombang yang dipancarkan oleh suatu bintang. Oleh sebab itu, didefinisikanlah sistem magnitudo bolometrik (mbol) yang menyatakan magnitudo bintang yang diukur dalam seluruh panjang gelombang.
Sistem magnitudo yang sudah kita bahas di atas hanya diukur pada panjang gelombang tertentu saja (mvis,mfot,mB,mU). Walaupun berbagai magnitudo tersebut dapat menggambarkan sebaran energi pada spektrum bintang sehingga dapat memberikan petunjuk mengenai temperaturnya, namun belum dapat memberikan informasi mengenai sebaran energi pada seluruh panjang gelombang yang dipancarkan oleh suatu bintang. Oleh sebab itu, didefinisikanlah sistem magnitudo bolometrik (mbol) yang menyatakan magnitudo bintang yang diukur dalam seluruh panjang gelombang.
Magnitudo mutlak bolometrik bintang sangat penting karena dapat  digunakan untuk mengetahui luminositas dari sebuah bintang (energi total  yang dipancarkan permukaan bintang per detik) dengan membandingkannya  dengan magnitudo mutlak bolometrik Matahari.
Dengan Mbol = magnitudo mutlak bolometrik bintang
Mbol¤ = magnitudo mutlak bolometrik Matahari (4,74)
Dengan Mbol = magnitudo mutlak bolometrik bintangMbol¤ = magnitudo mutlak bolometrik Matahari (4,74)
Persamaan modulus jarak untuk magnitudo bolometrik (absorpsi MAB diabaikan):
mbol – Mbol = -5 + 5log d
dengan d dalam parsec.
mbol – Mbol = -5 + 5log d
dengan d dalam parsec.
Apabila Mbol suatu bintang dapat ditentukan, maka  luminositasnya juga dapat ditentukan (dapat dinyatakan dalan luminositas  Matahari). Luminositas bintang merupakan parameter yang sangat penting  dalam teori evolusi bintang. Sayangnya, magnitudo mutlak bolometrik  sangat sukar ditentukan, karena beberapa panjang gelombang tidak dapat  menembus atmosfer bumi. Untuk bintang yang panas, sebagian energinya  dipancarkan pada daerah ultraviolet. Untuk bintang yang dingin, sebagian  energinya dipancarkan pada daerah inframerah. Oleh karena itu,  pengamatan magnitudo bolometrik harus dilakukan di atas atmosfer.
Untuk memudahkan, magnitudo bolometrik ditentukan secara teori  berdasarkan pengamatan di bumi. Atau, dapat ditentukan secara tidak  langsung, yaitu dengan memberikan koreksi pada magnitudo visualnya, yang  disebut koreksi bolometrik (Bolometric Correction – BC).
mv – mbol = BC
Mv – Mbol = BC
Nilai BC tergantung pada temperatur atau warna bintang.
Untuk bintang yang sangat panas, sebagian besar energinya dipancarkan  pada daerah ultraviolet sedangkan untuk bintang yang sangat dingin,  sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah inframerah (hanya  sebagian kecil saja pada daerah visual). Untuk bintang-bintang seperti  ini, harga BC-nya besar. Untuk bintang-bintang yang bertemperatur  sedang, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah visual,  sehingga harga BC-nya kecil.
Karena harga BC bergantung pada warna bintang, maka kita dapat  mencari hubungan antara BC dan indeks warna (B-V). Untuk bintang yang  dapat ditentukan magnitudo bolometriknya. Didefinisikan bahwa harga  terkecil BC adalah nol (BC ≥ 0). Untuk BC = 0 untuk (B-V) = 0,3.
Untuk Matahari, magnitudo bolometriknya (mbol¤) = -26,83, magnitudo mutlak bolometriknya adalah Mbol¤  = 4,74 dan koreksi bolometriknya BC = 0,08. Berikut disajikan tabel  temperatur efektif dan koreksi bolometrik untuk bintang-bintang deret  utama dan bintang maharaksasa.
|   B – V  |    Bintang deret utama  |    Bintang maharaksasa  |  ||
|   Tef  |    BC  |    Tef  |    BC  |  |
|   - 0,25  |    24500  |    2,30  |    26000  |    2,20  |  
|   - 0,23  |    21000  |    2,15  |    23500  |    2,05  |  
|   - 0,20  |    17700  |    1,80  |    19100  |    1,72  |  
|   - 0,15  |    14000  |    1,20  |    14500  |    1,12  |  
|   - 0,10  |    11800  |    0,61  |    12700  |    0,53  |  
|   - 0,01  |    10500  |    0,33  |    11000  |    0,14  |  
|   0,00  |    9480  |    0,15  |    9800  |    - 0,01  |  
|   0,10  |    8530  |    0,04  |    8500  |    - 0,09  |  
|   0,20  |    7910  |    0  |    7440  |    - 0,10  |  
|   0,30  |    7450  |    0  |    6800  |    - 0,10  |  
|   0,40  |    6800  |    0  |    6370  |    - 0,09  |  
|   0,50  |    6310  |    0,03  |    6020  |    - 0,07  |  
|   0,60  |    5910  |    0,07  |    5800  |    - 0,003  |  
|   0,70  |    5540  |    0,12  |    546  |    0,003  |  
|   0,80  |    5330  |    0,19  |    5200  |    0,10  |  
|   0,90  |    5090  |    0,28  |    4980  |    0,19  |  
|   1,00  |    4840  |    0,40  |    4770  |    0,30  |  
|   1,20  |    4350  |    0,75  |    4400  |    0,59  |  
Latihan :
- Bintang A tampak mempunyai kecerlangan yang sama pada filter merah dan biru. Bintang B tampak lebih terang pada filter merah daripada filter biru. Bintang C tampak lebih terang pada filter biru daripada di filter merah. Urutkan bintang-bintang itu berdasarkan pertambahan temperaturnya.
 - The binary star Capella has a total magnitude of 0.21m and the two components differ in magnitude by 0.5m. The parallax of Capella is 0.063″. Calculate the absolute magnitudes of the two components.
 - There are about 250 millions of the stars in the elliptical galaxy M32. The visual magnitude of this galaxy is 9. If the luminosities of all are equal, what is the visual magnitude of one star in this galaxy?
 - Two stars have the same apparent magnitude and are of the same spectral type. One is twice as far away as the other. What is the relative size of the two stars?
 - Sebuah galaksi diamati memiliki magnitudo visual mV = 21. Magnitudo ini berasosiasi dengan energi dari 1011 bintang yang ada di dalamnya (terdiri dari 3 jenis). Perkirakan/hitung jarak galaksi tersebut. Untuk itu gunakan asumsi sebagai berikut
 
|   Jenis   bintang  |    MV  |    Jumlah   (%)  |  
|   a  |    1  |    20  |  
|   b  |    4  |    50  |  
|   c  |    6  |    30  |  

No comments:
Post a Comment